8-11-13
Hari ini indah.
Masa SMA emang bakalan jadi masa yang paling dikenang jika kita udah gede nanti. Bersyukur masa SMA
kita ini begitu indah bersama Pampats, The Only One Gesrek.
**
Hari ini jadi hari yang dipenuhi tekanan batin bagi Oglek. Hari
ini jadi hari kramatnya buat duduk di bangku depan ketika ada pelajaran
matematika. Skak mat.
Tapi untungnya ada Rike –target buat dijailin- yang duduk di
belakang bangku Oglek. Oglek gembira, Rike mbesengut.
Materi matematika kali ini adalah trigonometri. Ya ya ya,
seperti biasa Bu Titik asik menerangkan materi tersebut pada kami semua,
mencacatnya di papan tulis, lalu duduk kembali di bangku.
Ya memang sih kami semua diam, sibuk memperhatikan Bu Titik
menerangkan. Tapi,
“Sof, ngerti?” Arin bertanya pada Sofia.
“Engga.” Sofia bergeleng-geleng sambil tertawa pelan.
Lalu di samping bangku Arin tampak Khanza yang juga sedang
menanyakan hal yang sama pada Nopi.
“Nop, ngerti?”
“Enggga.” Nopi juga tertawa.
Jadi, survei
membuktikan bahwa kami diam karena tidak paham.
Tapi jangan khawatir, ada kok segelintir anak yang paham.
Anak-anak yang dapat anugrah kepahaman yang luar biasa itu adalah Kharis, Nelu,
Siti, dan Denny.
Seperti biasa, Bu Titik selalu meninggalkan tugas untuk
mengerjakan soal. Dan seperti biasa
juga, kami selalu memakai jurus “ngasab” agar tugas tersebut selesai tanpa
mengerutkan dahi, tanpa mengkritingkan jari-jari.
“Yang udah siapa nih?” Robi sedang dalam masa-masa “ngasab”
“Nih aku udah.” Kharis menyodorkan kertas anugrahnya.
“Gimana kalo ditulis di papan tulis aja? Biar bersama.”
Zahra mengeluarkan ide cemerlang.
Lalu secara serempak, aku, Khanza, Robi, Lela, Zahra dan
yang lain berkata: ayo semangat ngasab!
Mulailah semua penghuni Pampats duduk di kursi pilihannya
masing-masing, lalu sibuk menulis jawaban Kharis yang Zahra tulis di papan
tulis.
Bel pulang berbunyi, namun kami semua tidak menghiraukan dan
masih saja sibuk dengan acara “ngasab.” Mungkin hal ini menimbulkan decak kagum
kelas lain yang berlalu lalang pulang, sehingga Arin berkata seperti ini,
“Mungkin kelas lain nyangkanya kita rajin nulis materi ya,
sampe-sampe udah bel pulang pun masih aja nulis. Padahal kita lagi nulis
contekan. Haha.” Tertawaan dari yang lain membuat kelas semakin ramai.
“Namanya juga penerus kesber, kebersamaannya dapet.” Khanza
mengacungkan jempol.
***
Ceritanya Brebes mau bikin rekor istigosah terbanyak, jadi
secara paksaan kami semua harus ikut acara tersebut.
Tibalah jam 1, kami semua sudah berkumpul di depan kelas
yang bertuliskan XI IPA 4 namun penghuninya mengaku sebagai jelmaan XI IPS 5.
Alias penerus kesber.
Kami semua berangkat bersama-sama, tentunya dengan membawa
tikar yang nantinya akan dipakai untuk duduk di Gedung Islamic. Konon, kami
semua memang sengaja jalan berbarengan karena “ngalap” tikarnya. Jadi, siapapun
yang kebagian membawa tikar, dialah yang akan di kerubungi kami semua. Ketika
tikar dipegang Lala, kami semua berjalan beriringan disebelah Lala, begitu
seterusnya.
Islamic sesak dipenuhi lautan manusia berbaju putih. Tapi
kami semua tetap berjalan beriringan demi terus bersama –bersama mendapatkan
tempat duduk di tikar-
Kupon yang telah kami dapat sewaktu di sekolah ternyata bisa
ditukar dengan buku yasin.
Setelah mendapat buku yasin, kami berjalan lagi untuk
mendapat jajan. Setelah mendapat jajan, rupanya Arin dan Khanza berjalan menepi
untuk memasukan jajan “pertama” dalam tas masing-masing, lalu mereka kembali
meminta jajan “kedua” pada panitia. Bahkan Khanza berhasil mendapat jajan
“ketiga.”
Selesai memilih tempat yang pas, kami semua duduk teratur
lengkap dengan jajan di depan mata kami. Jika ada salah satu anak yang
terdeteksi belum duduk berkumpul, kami semua akan berteriak mencari-cari.
Kompak.
Selama duduk di tikar kebersamaan tersebut, tak hentinya
kami tertawa oleh kocolan ala Oglek. Dan ritual sorak pun terus saja dilakukan
walau sedang dalam keramaian umum seperti ini.
Jajan memang sudah tersedia di depan mata, tapi Reka terus
saja meminta aku dan Zulfa melempar jajan milik kami kepadanya, dan Nopi selalu
saja memberhentikan setiap penjual es dan cemilan yang lewat.
Reka memanggilku, menyuruhku untuk membeli gorengan dengan
dana kas. Rupanya ketua kelas mengijinkan ide tersebut dan berjalanlah aku
serta Reka menuju gerobak gorengan.
Ini sih bukan istigosah, tapi lebih mirip piknik. Piknik ala
IPA 4, ada tikar yang dipenuhi jajanan dan es yang tercecer dimana-mana.
Dan survei
membuktikan bahwa hanya IPA 4 lah yang membawa tikar dan duduk bersama-sama
secara lengkap.
Setelah berunding untuk pulang, kami beranjak dari tikar
lalu membereskan sampah-sampah di tikar. Rike bertanya,
“Naga, ini sih mau ngapain kok pada beres-beres?” Tanya Rike
polos.
“Yaampun Rike, ini mau pulang.” Aku memegang kepala.
“Rike Rike, masih aja ngga konek.” Oglek meledek.
Pulangnya pun begitu, kami masih saja berjalan beriringan
bersama-sama walau sudah tak bermodus mendapat jatah duduk di tikar.
Ada pemandangan romantis yang terus saja diperlihatkan oleh
pasangan Benny dan Nilla yang notabene nya masih anget. Benny yang dengan
romantisnya menggelar sajadah untuk diduduki oleh Nila, Benny yang dengan
romantisnya berjalan bersama didepan barisan kami, lalu diteriakan ciye oleh
kami semua.
Ada pemandangan unik yang diperlihatkan oleh pasangan Aqil
dan Gilang yang notabene nya kategori nomer 2 pembagian cowok ala Bang Raditya
Dika. Gilang yang membawa gulungan tikar di bahunya, ini mirip seperti adegan
suami yang di usir dari rumah oleh istrinya yaitu Aqil. Lalu ketika Gilang
capek, digantikan dengan Aqil yang membawa gulungan tikar tersebut. Eh tapi
Aqil meletakan gulungan tikar di tengah jalan, mirip bayi yang terbuang.
Pesan kramat: Ngasab, sorak adalah bagian dari ritual
kekompakkan kami.
Special thanks for Ipampats {}
Hari ini indah, kalian kompak. Hidup penerus kesber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar